MAKALAH ANALISIS MASALAH SOSIAL
“GELANDANGAN”
Disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Analisis Masalah Sosial
Dosen :
Drs. Nurani
Kusnadi, M.si
Dr. Suhendar. MP
Disusun Oleh :
Kelompok 5/Kelas
1J
Rama
Sanjaya 15.04.092
Shopi
Naziihah Yahya 15.04.122
Winda
Astika Dewi 15.04.150
Nurul
Ilmi Hidayati A 15.04.242
Bima
Syahrul Mubarak 15.04.290
Hesti
Prisilia Marbun 15.04.329
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2015
A. Latar
belakang
Masalah sosial gelandangan merupakan fenomena sosial
yang tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama
yang berada di daerah perkotaan (kota-kota besar) Salah satu faktor yang
dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di Indonesia berdampak negative terhadap meningkatnya arus
urbanisasi sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah kumuh yang menjadi
pemukiman para urban tersebut sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang
tersedia, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka
banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi
gelandangan.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kessos) Departemen Sosial RI Tahun 2000 diluar
provinsi Maluku dan Nanggroe Aceh Darrussalam populasi gelandangan seluruh
Indonesia berjumlah 72.646 orang. Kemudia tahun 2002 mengalami peningkatan
sehingga populasinya menjadi 85.294 orang. Jika permasalahan ini tidak
ditangani secara komprehensif dan berkesinambungan akan menimbulkan masalah
yang lebih kompleks.
Dampak dari meningkatnya para gelandangan adalah
munculnya ketidakteraturan sosial (Social
Disorder) yang ditandai dengan
kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketertiban dan mengganggu keindahan kota.
Padahal disisi lain mereka adalah warga negara yang memilki hak dan kewajiban
yang sama, sehingga mereka perlu diberikan perhatian yang sama untuk
mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak.
Selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik
dengan sistem panti maupun non panti, namun belum menunjukkan hasil seperti
yang diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena besaran permasalahan
yang tidak seimbang dengan jangkauan pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana
dan prasarana serta kualitas pelayan yang masih bervariasi. Disamping itu
dampak dari pemberlakuan otonomi daerah yakni menimbulkan keberagaman persepsi
dan upayah pelayanan dan rehabilitasi sosial diberbagai daerah.
Untuk memperluas jangkauan pelayanan , Departemen
sosial juga berupaya melibatkan masyarakat dalam setiap pelayanan dan
rehabilitasi sosial gelandangan namun hasilnya belum optimal. Oleh sebab itu
kami bermaksud membuat makalah ini agar dapat dijadikan referensi bagi para
pembaca yaitu masyarakat untuk mengenal, mempelajari, memahami dan mengatasi
salah satu masalah sosial yang melanda kota-kota besar di Indonesia yaitu
Gelandangan.
B. Permasalahan
Sosial Gelandangan
Masalah sosial yang tidak bisa dihindari
keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah
perkotaan salah satunya adalah masalah gelandanagan. Permasalahan sosial
gelandangan merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahn seperti
halnya kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya ketrampilan kerja yang dimiliki,
lingkungan, sosial budaya, kesehatan, dan lain sebagainya. Adapun gambaran
permasalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Masalah
Kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan
seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan
pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun
keluarga secara layak.
2. Masalah
Pendidikan
Pada umumnya tingkat
pendidikan gelandangan relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh
pekerjaan yang layak.
3. Masalah
Keterampilan Kerja
Pada umumnya
gelandangan tidak memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan tuntutan pasar
kerja.
4. Masalah
Sosial Budaya
Ada beberapa faktor
sosial budaya yang memengaruhi seseorang menjadi gelandangan
1)
Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri
pada sekelompok orang mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk
menggelandang
2)
Sikap pasrah pada nasib
Mereka menganggap bahwa
kondisi mereka sebagai gelandangan adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan
untuk melakukan perubahan.
3)
Kebebasan dan kesenangan hidup
menggelandang
Ada kenikmatan
tersendiri bagi sebagian besar gelandangan yang hidup menggelandang, karena
mereka tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani
mereka, sehingga menggelandang menjadi salah satu pilihan mereka.
5. Masalah
Kesehatan
Dari segi kesehatan,
gelandangan termasuk kategori warga negara dengan tingkat kesehatan fisik yang
rendah akibat rendahnya gizi makanan dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan.
C. Motivasi
Sebagai calon pekerja sosial, kami yang nantinya
akan menjadi ujung tombak dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial di
Indonesia tentunya mendukung program-program pemerintah yang berkaitan langsung
dengan kesejahteran rakyat Indonesia, untuk itu berdasarkan :
PP 31/1980, tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
a.
bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan;
b.
bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha
pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan
rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis, agar mampu mencapai taraf
hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara
Republik Indonesia;
c.
.berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis
Oleh sebab itu dengan
adanya makalah ini kami berharap masalah gelandangan yang ada di Indonesia
dapat segera di atasi dan di minimalisirkan jumlahnya yang merupakan tanggung
jawab seluruh masyarakat Indonesia agar tercapainya cita-cita bangsa Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A. Identifikasi
Masalah /ciri-ciri masalah Gelandangan
Sebagaimana dapat disaksikan di
kota-kota besar Indonesia, terutama di ibukota Negara, kota Jakarta,
gelandangan yang dilakukan oleh anak-anak remaja, dewasa maupun lansia sangat
mencolok mata. Fenomena ini dapat pula disaksikan di kota-kota besar lainnyan seperti
Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta. Secara yuridis formal, perbuatan
bergelandangan diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 505 KUH Pidana.
(1) Barang
siapa bergelandang tanpa pencarian, diancam karena melakukan bergelandangan,
dengan kurungan paling lama tiga bulan.
(2) Pergelandangan
yang dilakaukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya diatas enam belas
tahun, diancam dengan kurang paling lama enam bulan.
Pada hakikatnya gelandangan adalah para
subyek yang tidak memiliki tempat tinggal juga secara yurudis formal subyek
tersebut tidak memiliki domisili secara autentik. Dalam pemahaman lain
“gelandangan “ adalah kumpulan individu yang lapangan pekerjaannya belum
memenuhi syarat martabat kemanusiaan secara representative universal. Menurut
Sudarsono, pada dasarnya “gelandangan” adalah
mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, juga secara
yuridis tidak berdomisili yang autentik. Di samping itu mereka merupakan
kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak menurut ukuran
masyarakat pada umumny, juga mereka termasuk orang-orang tidak menetap, kotor,
sebagian besar tidak mengenal nilai-nilai keluhuran. Pada hakikatnya
“gelandangan” dalam perspektif yuridis memiliki relevansi yang erat dengan
wawasan etis dan moral.
Multi kompleks masalah gelandangan
bergeser menjadi salah satu problem sosial yang cenderung pada kondisi
distruktif dan mendegrasikan nilai-nilai moralitas. Dari tinjuan sosial
pothologis, Soedjono D, S. H., mendeskripsi bahwa salah sebuah problem yang
memusingkan pemerintah DKI Jaya adalah gelandangan yang disebut tuna karya
(tidak punya pekerjaan) dan tuna wisma (tidak punya tempat tinggal). Dengan demikian
para gelandangan terpaksa berkeliaran di seluruh penjuru kota metromolitan
untuk :
1. Mencari
makan hanya sekedar sesuap nasi dan seteguk air guna menyambung hidup bahkan
semata-mata agar dapat bertahan pada tingkat kehidupan maksimal yang dapat
dicapainya.
2. Mencari
papan, sekedar upaya agar dapata berlindung diri dari deterministic kosmos yang bergerak konstan
terutama terik matahari dan siraman air hujan serta kondisi-kondisi lain yang
menjadi causa non konstruktif bagi kelangsungan layak hidup manusia.
Melangkah
spekulatif agar mampu mengubah secara demi sedikit dari tingkat kualitas hidup
yang memiliki menuju kualitas lain yang lebih mungkin hidup dan menghidupkan. Ciri-ciri
dari gelandangan yaitu :
1)
Tidak memiliki tempat tinggal.
Kebanyakan dari gelandangan ini
tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak
huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di
sepanjang sungai,emper toko dan lain-lain
2) Hidup di bawah garis kemiskinan.
Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin
untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka harus mengemis
atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3)
Hidup dengan penuh ketidakpastian.
Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap
harinya.Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak
bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.
4)
Memakai baju yang compang camping.
Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju
yang rapi atau berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.
5)
Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti
pencari puntung rokok, penarik grobak.
6)
Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami,kumpulkebo atau komersialisasi istri dan
lain-lainnya.
Namun secara spesifik, Karakteristik gelandangan dapat dibagi menjadi :
1. Anak sampai usia
dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun,tinggal
di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di
tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.
2. Tidak mempunyai tanda
pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan
bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.
3. Tidak mempunyai
pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.
Menurut
Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang melekat pada
kelompok masyarakat yang dikategorikan gelandangan adalah : ”Mempunyai lingkungan
pergaulan, norma dan aturan tersendiri yang berbeda dengan lapisan
masyarakat yang lainnya, tidak memliki
tempat tinggal, pekerjaan dan pendapatan yang layak dan wajar menurut yang
berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat tersebut.
Status kehidupan gelandangan yang non konstruksi
bukan dirasakan pemerintah DKI Jaya, Implisit masyarakat metropolitan Jakarta
semata. Dalam perkembangan lebih lanjut masalah gelandangan mulai membebabi
kota-kota besar lainnya di Indonesia, misalnya Makassar, Surabaya, Yogyakarta,
Semarang, Bandung dan Medan, bahkan dapat terjadi di kota-kota propinsi lain
akan menyusul dengan kualitas dan kuantitas yang tidak berbeda.
B. Sebab-sebab
terjadinya masalah gelandangan
Dalam perspektif causa Aristoteles banyak factor
yang mendukung, mendorong, bahkan sebagau emberio yang menuju arah terwujudnya
gelandangan tersebut. Dalam perspektif lain Artidjo Alkostar membentangkan
sangat rinci factor-faktor penyebab gelandangan yang pada garis besarnya,
sebagai berikut : dari hasil observasi terhadap gelandangan, factor-faktor
penyebab terjadinya gelandangan dapat dibedakan ke dalam factor interen dan
eksteren. Factor intern meliputi : sifat malas, tidak mampu bekerja, mental
yang tidak kuat, adanya cacat fisik, dan adanya cacat psikis(jiwa). Sedangkan faktor-faktor
interen terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, psikologi,
kultural, lingkungan dan agama.
(1) Faktor
ekonomi. Kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat rendahnya
pendapatan per kapita dan tidak tercukupinya kebutuhan hidup.
(2) Faktor
geografi. Daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak memungkinkan
pengolahan tanahnya.
(3) Faktor
sosial. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi
masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.
(4) Faktor
pendidikan. Relative rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya pendidikan
menyebabkan kurangnya bekal dan keterampilan hidup yang layak, dan kurangnya
pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat.
(5) Faktor
psikologis. Adanya perpecahan/keretakan dalam keluarga, dan keinginan melupakan
pengalaman/kejadian masa lampau yang menyedihkan, serta kurangnya gairah kerja.
(6) Faktor
kultural. Pasrah kepada nasib, dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan
hambatan mental
(7) Faktor
lingkungan. Pada gelandangan yang telah berkeluarga atau mempunyai anak , secara tidak langsung
sudah Nampak adanya pembibitan gelandangan.
(8) Faktor
agama. Kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya iman,
membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha.
C.
Dampak terjadinya masalah gelandangan
Selain permasalah diatas ada
berbagai dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan gelandanagan, antara lain :
1.
Masalah Lingkungan
Gelandangan
pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di wilayah yang
sebenarnya dilarang dijadikan tempat tinggal, seperti : taman-taman, kolong
jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu kehadiran mereka di kota-kota
besar sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, kebersihan dan
keindahan kota.
2.
Masalah Kependudukan
Gelandangan
yang hidupnya berkeliaran di jalan-jalan dan tempat-tempat umum kebanyakan
tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di Kelurahan (RT/RW)
setempat dan sebagian besar mereka hidup bersama sebagai suami istri tanpa
ikatan pernikahan yang sah.
3.
Masalah Keamanan dan Ketertiban
Maraknya
gelandangan di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial, serta
mengurangi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.
D. Identifikasi
pelayanan pekerja sosial yang
berhubungan dengan masalah
Pelayanan
dan Rehabilitas
1)
Proses pelayanan dan rehabilitas sosial Gelandangan meliputi :
a.
Pendekatan Awal dan Penerimaan Klien
a)
Kegiatan .
·
Orientasi dan konsultasi kepada Lembaga terkait dan Lintas Sektor
untuk memperoleh dukungan dan calon klien
·
Identifikasi calon klien
·
Motivasi calon
·
Seleksi calon klien
·
Kesepakatan pelayanan dengan klien (Kontrak Pelayanan )
b)
Kualifikasi Petugas
·
Pekerja Sosial (Pemerintah maupun Swasta )
·
Relawan Sosial yang terlatih
c)
Frekwensi dan Jangka Waktu
Lamanya 1 2minggu
d) Administrasi dan materi
pendukung
·
Formulir pendekatan awal
·
Buku Registrasi
·
Formulir Identifikasi
·
Formulir Perjanjian (Kontrak Pelayanan )
·
Laporan kunjungan
2)
Pengungkapan dan pemahaman masalah (assessment)
a)
Kegiatan.
·
Menggali masalah dan potensi klien
·
Menyusun rencana pelayanan
·
Menggali sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk menolong
klien
b)
Kualifikasi petugas
·
pekerja sosial
·
relawan sosial dibawah supervise pekerja sosial
c)
Frekuensi dan jangka waktu
·
2x melaksanakan assessment terhadap klien
·
2x melakukan assessment terhadap lingkungan klien
·
1-2 minggu
d) Admininstrasi dan materi
pendukung
·
Instrument Studi Kasus
·
Laporan Studi Kasus
·
Pembahasan kasus (Case Conference)
3) Bimbingan sosial, fisik, mental, dan
keterampilan
a)
kegiatan
·
Bimbingan sosial (individu, kelompok, komunitas)
·
Bimbingan fisik ( kesehatan, gizi, olahraga, dan kebersihan
lingkungan)
·
Bimbingan mental (spiritual budi pekerti, kepribadian)
·
Bimbingan keterampilan kerja
·
Bimbingan pendidikan (formal dan non formal)
b)
kualifikasi
·
Pekerja sosial
·
Tenaga medis atau paramedic
·
Rohaniawan
·
Psikolog
·
Instruktur keterampilan
c)
Frekuensi dan jangka waktu
·
Bimbingan perorangan 3x pertemuan perbulan
·
Bimbingan kelompok
e)
Adiministrasi dan materi
pendukung
·
Laporan proses dan perkembangan
·
Silabus bimbingan
4) Resosialisasi
a)
kegiatan
·
Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat dan pemerintah
daerah
·
Magang ditempat kerja sesuai keterampilannya
·
Penyiapan tempat peyaluran kerja, transmigrasi
b)
kualifikasi
·
Pekerja Sosial
·
Relawan sosial terlatih
c)
frekuensi dan jangka waktu
·
1-3 bulan
d)
Adminitrasi dan materi penunjang
·
Laporan proses persiapaan dan perkembangan
5) penyaluran
a)
kegiatan
·
Penyaluran lapangan kerja usaha
·
Mengikuti, program transmigrasi
·
Dikembalikan ke daerah asal klien
·
Berwiraswasta
b)
kualifikasi petugas
·
Pekerja Sosial
·
Relawan sosial terlatih
c)
frekuensi dan jangka waktu
·
Segera setelah proses resosialisasi selesai
d)
administrasi
·
Formulir penyaluran
·
Laporan penyaluran
6) bimbingan lanjut
a)
kegiatan
·
Memantau perkembangan bekas warga binaan sosial
·
Supervise
b)
kualifikasi petugas
·
Pekerja sosial
·
Pekerja sosial terlatih
·
Aparat terkait (rt, rw, lurah, binmas)
c.
frekuensi dan jangka waktu
·
Frekuensi kontak, sekali dalam 2 bulan
·
Jangka waktu 6 bulan
d.
Adminisrasi dan materi penutup
·
Formulasi bimbingan lanjut
·
Laporan bimbingan lanjut
7. evaluasi
a)
kegiatan
·
Evaluasi setiap tahapan proses
·
Evaluasi akhir
b) Kualifikasi petugas
·
Pekerja Sosial
·
Relawan sosial dengan supervise pekerja sosial
c)
Frekuensi dan jangka waktu
·
4 (empat) kali
·
4 (empat) kali
8.Pengakhiran (Terminasi)
a)
kegiatan
·
Pengakhiran kegiatan pelayanan
b)
Kualifikasi petugas
·
Pekerja Sosial
·
Relawan sosial terlatih
c)
Frekuensi dan jangka waktu
·
1 (satu) kali
·
1 (satu) hari
d)
Administrasi dan materi pendukung
Surat pemberitahuan
pengakhiran kepada klien dan tembusan kepada pihak-pihak terkait
D. Sarana dan Prasarana Pelayanan
1.
Panti
a)
Gedung Kantor
1) Ruang pimpinan
2) Ruang administrasi
3) Ruang konsultasi
4) Ruang tamu
5) Ruan pertemuan
b)
Pondok atau Asrama minimal memiliki
1) Ruang tidur
2) Ruang makan
3) Kamar mandi/wc
4) Ruang tamu
c)
Sarana penunjang
1) Lapangan atau halaman
unutk pembinaan fisik
2) Ruang bimbingan mental
sosial
3) Ruang pelatihan keterampilan
sosial
2.
Non panti
a)
Gedung secretariat
1)
Ruang pimpinan
2)
Ruang tata usaha
3)
Ruang konsultasi
Sarana dan prasarana penunjang bersifat
koordinatif dengan mendayagunakan sumber-sumber yang ada.
E. Identifikasi
potensi dan sistem sumber yang dapat digunakan untuk mangatasi masalah
Berdasarkan masalah ini, banyak sekali jenis potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang dapat
digunakan untuk mengatasinya. Tentunya dapat dianut dari sistem sumber yang
telah ditemukan oleh para ahli. Adapun sistem sumber tersebut adalah sebagai
berikut:
Menurut Pincus dan Minahan (1973) mengklasifikasikan sumber sebagai berikut :
Menurut Pincus dan Minahan (1973) mengklasifikasikan sumber sebagai berikut :
1.
Sistem sumber informal atau alamiah (informal or natural resources system)
Sistem sumber informal atau alamiah merupakan segala
bentuk dukungan, bantuan dan pelayanan yang dapat digali dan dimanfaatkan dari
lingkungan terdekat seperti: keluarga, teman, kerabat ataupun tetangga.
Bentuk-bentuknya dapat berupa dukungan emosional, kasih sayang, perhatian,
nasehat, informasi, serta bantuan-bantuan konkrit seperti bantuan makan,
pakaian ataupun uang. Sistem sumber ini dapat pula dijadikan jalan bagi
pemanfaatan sistem sumber lainnya. Sistem sumber ini dapat digunakan apabila
gelandang tersebut masih memiliki kerabat sehingga gelandangan tersebut tidak
hidup sebatang kara.
2. Sistem sumber formal (formal resources system)
Sistem sumber formal merupakan sistem sumber yang
dapat memberikan bantuan, dukungan, ataupun pelayanan bagi para anggotanya melalui suatu wadah organisasi
yang sifatnya formal, seperti: serikat buruh, perhimpunan orang tua anak-anak
yang kecerdasannya dibawah normal, persatuan orang tua murid, maupun organisasi
–organisasi profesional. Keberadaan sistem –sistem sumber ini dapat pula
digunakan dan dimanfaatkan sebagai jalan bagi akses terhadap sumber-sumber
lainnya. Tentunya, dengan adanya sumber ini, akan mempermudah dalam penangan
gelandangan, karena sistem sumber formal akan lebih efektif untuk mengatasi
masalah gelandangan.
3. Sistem Sumber Kemasyarakatan (sosial recources System )
Sistem sumber kemasyarakatan adalah lembaga-lembaga
yang didirikan oleh pemerintah ataupun swasta yang memberikan pelayanan kepada
semua orang, misalnya sekolah, rumah sakit, lembaga bantuan hukum serta
badan-badan sosial bagi perawatan anak, adopsi anak, lembaga pelatihan dan
penempatan tenaga kerja, perpustakaan, tempat-tempat rekreasi dan fasilitas
sosial lainnya, orang-orang umumnya terkait dengan salah satu atau bahkan
beberapa dari sistem sumber kemasyarakatan. Dengan adanya sistem sumber ini,
penanganan gelandangan yang menjadi masalah sosial diperkotaan akan lebih
efektif pula, sebab gelandangan akan dikelola secara efektif agar dapat
berfungsi sosialnya.
Sedangkan menurut Max Siporin (1975) dalam Sukoco DH
(1998), klasifikasi sistem sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
masalah gelandangan adalah sebagai
berikut :
1. Sumber internal
Sumber internal pada gelandangan misalnya kecerdasan, imajinasi, kreatifitas,
sensitivitas, motivasi, keberanian, karakter moral, kekuatan fisik, stamina,
ketampanan/ kecantikan, keyakinan agama, pengetahuan dan kemampuan khusus
lainnya, dapat dikelola untuk meningkatkan standar kehidupan mereka.
2. Sumber Formal dan Ofisial dan Sumber Informal dan non Ofisial.
Sumber formal dan ofisial adalah organisasi
–organisasi yang mewakili kepentingan masyarakat seperti pekerja sosial
profesional, lembaga-lembaga konseling, dan lembaga-lembaga lain yang
memberikan pelayanan sosial. Sedangkan sumber-sumber yang informal dan non
ofisial seperti dukungan sosial dan kerabat, tetangga yang memberikan bantuan
makanan, pakaian, tempat tinggal, uang atau dukungan moral yang diberikan
selama sakit, bencana atau kematian. Sumber-sumber non ofisial ini merupakan
bagian dari sistem sumber pertolongan alamiah. Sumber ini sangat mendukung untuk mengurangi
jumlah gelandangan yang beredar karena gelandangan mendapatkah pengaruh
nilai-nilai positif untuk merubah kehidupan mereka.
F. Merencanakan pemecahan masalah melalui pendekatan – pendekatan pemecahan masalah gelandangan.
Pada pendekatan sistem masalah sosial, aspek
kehidupan yang berkaitan dengan gelandangan ditetapkan sebagai subsistem
masalah sosial. Untuk mengkaji dan menganalisa subsistem-subsistem gelandangan
secara mendalam, kita harus menggunakan disiplin ilmu sosial yang juga lebih
daripda satu. Dengan demikian, pada pendekatan sistem ini untuk memecahkan
masalah gelandangan yang telah mengakar kita gunakan disiplin ilmu sosial yang
sesuai dengan jumlah masalah gelandangan yang akan kita analisan dan yang akan
kita kaji. Penerapan ilmu disiplin akademis ilmu sosial pada pendekatan sistem
inilah yang disebut pendekatan interdisipliner. Pemikiran tentang gelandangan didekati
, dianalisa, dan dikaji dari berbagai
disiplin ilmun sosial secara serentak dalam waktu yang sama yaitu mengandung
anasir multi-disiplin-ilmu yang satu sama lain saling terkait dan menopang baik
sosiologi, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, etika, estetika, dan
bahkan planologi. Fenomena yang verivikatif dan tingkat validitasnya memadai,
individu-individu yang bergelandangan meliputi semua jenis kelamin dan merata
dalam tingkat usia. Implikasi dan kehidupan gelandangan yang strukturalistik
kerap kali ditemukan beberapa remaja bahkan anak di bawah umur, balita, dewasa
maupun lansia berada dalam semesta kehidupan yang menunggu perbaikan secara
total dalam integraliktasnya.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini secara sederhana
akan di ketengahkan pelaksanaan pendekatan interdisipliner, untuk hal ini, kita
akan kembali kepada masalah gelandangan yang kita tetapkan sebagai suatu sistem
masalah sosial. Pendekatan interdisipliner masalah gelandangan itu sebagai
berikut :
Mengungkapkan
subtensi historis dengan pendekatan historis:
(1) Sejak
kapankah gejala gelandangan terjadi di daerah tersebut?
(2) Telah
menjadi warisan sejak jaman dulukah gejala gelandangan tersebut?
(3) Apakah
penduduk yang miskin di daerah itu merupakan penduduk asli setempat ataukah
merupakan penduduk pendatang?
(4) Bagaimanakh
usaha yang dilakukan sejak jaman dulu untuk mengatasi masalah gelandangan
tersebut?
(5) Factor-faktor
historis apakah yang menjadi pendorong terjadinya masalah gelandangan tersebut?
(6) Dan
seterusnya.
Mengungkapkan
subtensi ekonomi dengan pendekatan ekonomi:
(1) Bagaimanakah
keadaan sumber daya setempat yang mendukung kehidupan penduduknya ?
(2) Bagaimanakah
keadaan lapangan kerja setempat yang menjamin kehidupan penduduknya?
(3) Bagaimanakah
perbandingan antara jumlah orang kaya dengan orang miskin di daerah tersebut?
(4) Bagaimanakah
pendataan perkapita penduduk setempat?
Mengungkapkan
subtensi sosial dengan pendekatan sosiologis:
(1) Bagaimanakah
hubungan sosial antar penduduk setempat pada umumnya?
(2) Bagaimanakah
peranan pemuka masyarakat setempat dalam menanggapi dan menghadapi masalah
gelandangan setempat?
(3) Sampai
sejauh manakah usaha yang dilakukan
pemuka masyarakat dan penduduk yang kaya mengatasi masalah gelandangan?
(4) Adakah
norma-norma sosial setempat yang mengatur pembagian dan pemerataan pendapatan
setempat?
(5) Bagaimanakah
sistem nilai sosial yang berlaku pada daerah setempat?
Mengungkapkan
subtensi politik dengan pendekatan politik:
(1) Adakah
peraturan khusus setempat dan peraturan pemerintah yang melindungi penduduk
dari gelandengan?
(2) Adakah
pengaruh kestabilan pemerintah terhadap masalah gelandangan setempat?
(3) Sampai
sejauh manakah perhatian pemerintah setempat terhadap masalah gelandangan
dengan gejalan untuk mengatasinya?
(4) Bagaimanakah
tindakan pemerintah dan pemimpin pemerintah mengatasi masalah gelandangan?
Mengungkapkan
subtensi psikologi dengan pendekatan psikologi
:
(1) Bagaimanakah
sikap mental penduduk setempat terhadap gelandangan?
(2) Bagaimanakah
rasanya harga diri penduduk setempat terhadap kemiskinan yang dialami?
(3) Bagaimana
kemauan penduduk setempat terhadap usaha mengatasi masalah gelandangan yang
menimpa dirinya?
(4) Tindakan
penduduk dan pemuka masyarakat setempat merasakan sebagai suatu tekanan jiwa
gelandangan yang menimpa dirinya?
Demikianlah antara lain proses
pendekatan interdisipliner dan pendekatan sistem dalam mengungkapkan
permasalahan kehidupan di masyarakat
salah satunya yaitu masalah gelandangan.
Perencanaan Metode
Pemecahan Masalah gelandangan
Sesuai dengan data masukan hasil
pendekatan masalah, kita harus
mengadakan perencanaan metode pemecahan masalahnya. Perencanaan ini terutama
bertujuan mendapatkan pemecahan masalah yang secara rasional dapat menghemat
daya, dana, dan waktu dan juga untuk menghindari terjadinya masalah baru yang
lebih sukar untuk ditangani. Hal ini disarkan atas kenyataan bahwa tidak jarang
terjadi masalah baru yang lebih gawat sebagai akibat penerapan pemecahan
masalah yang tergesa-gesa tidak melalui perencanaan yang matang.
Perencanaan-perencanaan masalah meliputi
variable-variabel apa yang tejadi menjadi factor masalah, bagaimana
intesitasnya dan bagaimana pemecahan masalh itu harus dilaksanakan. Dari
variable sosial dengan derajat intensitasnya, kita akan dapat merumuskan dan
menentukan skala prioritas pemecahan mana yang harus di utamakan/didahulukan,
mana yang kemudiann dan mana yang
III.
PENUTUP
Gelandangan adalah
orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang
layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan mereka, berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan
dari orang lain. Dari sekian faktor yang ada, ada 5 faktor yang menjadi
penyebab adanya gelandangan di Aksara yaitu Urbanisasi, Keterampilan,
Pendidikan, Kelemahan Fisik dan Lingkungan. Hal itu menjadi dasar yang membuat
orang-orang tersebut terpaksa menjadi Gelandangan. Dampak yang ditimbulkan oleh
mereka sangat meresahkan masyarakat, mulai dari masalah lingkungan,
kependudukan, keamanan dan ketertiban serta kriminalitas.
Kita dapat mengenali
gelandangan dengan ciri ciri tindak memiliki tempat tinggal, hidup di bawah
garus kemiskinan, hidup dengan ketidakpastian, memakai baju compang camping,
tidak memiliki pekerjaan, tidak mempunyai identitas diri dan tuna etika.
Gelandangan juga biasanya biasanya usia dewasa laki-laki ataupun perempuan
sampai lansia terkadang juga ada anak kecil yang ikut dengan orang tuanya.
Identifikasi
pelayanan pekerja sosial yang
berhubungan dengan masalah dapat dengan memberikan Pelayanan dan
Rehabilitas kepada para gelandangan berupa pendekatan awal, assessment,
Resosialisasi dan bimbingan.
Banyak sekali jenis potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang dapat
digunakan untuk mengatasinya yaitu di antaranya Sistem sumber informal atau
alamiah, sistem sumberformal, Sistem Sumber Kemasyarakatan dan sistem sumber
internal. Adapula pendekatan yang dapat kita lakukan dalam menangani masalah
sosial gelandangan yang ditetapkan sebagai subsistem masalah sosial. Untuk mengkaji
dan menganalisa subsistem-subsistem gelandangan secara mendalam, kita harus
menggunakan disiplin ilmu sosial yang juga lebih daripda satu.
Selain kita sebagai
calon pekerja sosial berusaha mengatasi dan mengurangi masalah gelandangan agar
Indonesia dapat mengalami perubahan sejahterah secara perlahan namun pasti dan
juga pemerintah di tuntut agar memperhatikan gelandangan dengan memberikan
bimbingan bukan dengan penangkapan secara keras, sebagaimana karena bagaimana
pun juga mereka adalah warga bangsa yang mempunyai hak untuk mendapatkan hidup
layak serta pendidikan dan perhatian, karena kami yakin jika mereka di berikan
kesempatan untuk mendapat pendidikan dan perekonomian yang baik tentunya kelak
mereka dapat mengaharumkan nama Negara dan bangsa dan juga dapat mengurangi
permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini.
Kami juga menghimbau
kepada keluarga agar dapat memberikan pola asuh yang baik,sehingga tidak
mendorong anak-anak penerus bangsa terjerumus didalam kehidupan sosial yang
menyimpang. Upaya penanggulangan akan lebih baik lagi jika
pemerintah menyediakan panti sosial yang mempunyai program
dalam bidang pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan keterampilan
(workshop) bagi gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan
tidak kembali menggelandang dan mengemis.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Direktorat
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2004. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan
dan Pengemis. Jakarta. Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI.
Sudarsonoh.
2012. “Kenakalan Remaja : Prevensi, rehabilitasi, Resosialisasi”. Cet 6.
Jakarta. Rineka Cipta.
Agus
Zebua, Citra. “ Makalah mengenai gelandangan”. 13 April 2016. http://citraaguszebua.blogspot.co.id/2014/12/makalah-mengenai-gelandangan-dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar