Selasa, 22 November 2016

Makalah PMKS Gelandangan

MAKALAH ANALISIS MASALAH SOSIAL
“GELANDANGAN”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Analisis Masalah Sosial

Dosen :
Drs. Nurani Kusnadi, M.si
Dr. Suhendar. MP

Disusun Oleh :
Kelompok 5/Kelas 1J


Rama Sanjaya                               15.04.092
Shopi Naziihah Yahya                  15.04.122
Winda Astika Dewi                      15.04.150
Nurul Ilmi Hidayati A                  15.04.242
Bima Syahrul Mubarak                 15.04.290
Hesti Prisilia Marbun                    15.04.329
  

SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2015

    I.           PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Masalah sosial gelandangan merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota besar) Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negative terhadap meningkatnya arus urbanisasi sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kessos) Departemen Sosial RI Tahun 2000 diluar provinsi Maluku dan Nanggroe Aceh Darrussalam populasi gelandangan seluruh Indonesia berjumlah 72.646 orang. Kemudia tahun 2002 mengalami peningkatan sehingga populasinya menjadi 85.294 orang. Jika permasalahan ini tidak ditangani secara komprehensif dan berkesinambungan akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks.
Dampak dari meningkatnya para gelandangan adalah munculnya ketidakteraturan sosial (Social Disorder)  yang ditandai dengan kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketertiban dan mengganggu keindahan kota. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara yang memilki hak dan kewajiban yang sama, sehingga mereka perlu diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak.
Selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik dengan sistem panti maupun non panti, namun belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena besaran permasalahan yang tidak seimbang dengan jangkauan pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana dan prasarana serta kualitas pelayan yang masih bervariasi. Disamping itu dampak dari pemberlakuan otonomi daerah yakni menimbulkan keberagaman persepsi dan upayah pelayanan dan rehabilitasi sosial diberbagai daerah.
Untuk memperluas jangkauan pelayanan , Departemen sosial juga berupaya melibatkan masyarakat dalam setiap pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan namun hasilnya belum optimal. Oleh sebab itu kami bermaksud membuat makalah ini agar dapat dijadikan referensi bagi para pembaca yaitu masyarakat untuk mengenal, mempelajari, memahami dan mengatasi salah satu masalah sosial yang melanda kota-kota besar di Indonesia yaitu Gelandangan.

B.     Permasalahan Sosial Gelandangan
Masalah sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan salah satunya adalah masalah gelandanagan. Permasalahan sosial gelandangan merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai permasalahn seperti halnya kemiskinan, pendidikan rendah, minimnya ketrampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, kesehatan, dan lain sebagainya. Adapun gambaran permasalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Masalah Kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan pelayanan umum sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga secara layak.
2.      Masalah Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan relatif rendah sehingga menjadi kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3.      Masalah Keterampilan Kerja
Pada umumnya gelandangan tidak memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
4.      Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang memengaruhi seseorang menjadi gelandangan
1)         Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri pada sekelompok orang mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk menggelandang
2)         Sikap pasrah pada nasib
Mereka menganggap bahwa kondisi mereka sebagai gelandangan adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.
3)         Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang
Ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan yang hidup menggelandang, karena mereka tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga menggelandang menjadi salah satu pilihan mereka.
5.      Masalah Kesehatan
Dari segi kesehatan, gelandangan termasuk kategori warga negara dengan tingkat kesehatan fisik yang rendah akibat rendahnya gizi makanan dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan.

C.     Motivasi
Sebagai calon pekerja sosial, kami yang nantinya akan menjadi ujung tombak dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial di Indonesia tentunya mendukung program-program pemerintah yang berkaitan langsung dengan kesejahteran rakyat Indonesia, untuk itu berdasarkan :
PP 31/1980, tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis
a.       bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan; 
b.      bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis, agar mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara Republik Indonesia;
c.       .berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis
Oleh sebab itu dengan adanya makalah ini kami berharap masalah gelandangan yang ada di Indonesia dapat segera di atasi dan di minimalisirkan jumlahnya yang merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia agar tercapainya cita-cita bangsa Indonesia.

    II.            PEMBAHASAN
A.    Identifikasi Masalah /ciri-ciri masalah Gelandangan
Sebagaimana dapat disaksikan di kota-kota besar Indonesia, terutama di ibukota Negara, kota Jakarta, gelandangan yang dilakukan oleh anak-anak remaja, dewasa maupun lansia sangat mencolok mata. Fenomena ini dapat pula disaksikan di kota-kota besar lainnyan seperti Surabaya, Makassar, dan Yogyakarta. Secara yuridis formal, perbuatan bergelandangan diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 505 KUH Pidana.
(1)   Barang siapa bergelandang tanpa pencarian, diancam karena melakukan bergelandangan, dengan kurungan paling lama tiga bulan.
(2)   Pergelandangan yang dilakaukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya diatas enam belas tahun, diancam dengan kurang paling lama enam bulan.
Pada hakikatnya gelandangan adalah para subyek yang tidak memiliki tempat tinggal juga secara yurudis formal subyek tersebut tidak memiliki domisili secara autentik. Dalam pemahaman lain “gelandangan “ adalah kumpulan individu yang lapangan pekerjaannya belum memenuhi syarat martabat kemanusiaan secara representative universal. Menurut Sudarsono, pada dasarnya “gelandangan” adalah  mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, juga secara yuridis tidak berdomisili yang autentik. Di samping itu mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak menurut ukuran masyarakat pada umumny, juga mereka termasuk orang-orang tidak menetap, kotor, sebagian besar tidak mengenal nilai-nilai keluhuran. Pada hakikatnya “gelandangan” dalam perspektif yuridis memiliki relevansi yang erat dengan wawasan etis dan moral.
Multi kompleks masalah gelandangan bergeser menjadi salah satu problem sosial yang cenderung pada kondisi distruktif dan mendegrasikan nilai-nilai moralitas. Dari tinjuan sosial pothologis, Soedjono D, S. H., mendeskripsi bahwa salah sebuah problem yang memusingkan pemerintah DKI Jaya adalah gelandangan yang disebut tuna karya (tidak punya pekerjaan) dan tuna wisma (tidak punya tempat tinggal). Dengan demikian para gelandangan terpaksa berkeliaran di seluruh penjuru kota metromolitan untuk :
1.      Mencari makan hanya sekedar sesuap nasi dan seteguk air guna menyambung hidup bahkan semata-mata agar dapat bertahan pada tingkat kehidupan maksimal yang dapat dicapainya.
2.      Mencari papan, sekedar upaya agar dapata berlindung diri dari  deterministic kosmos yang bergerak konstan terutama terik matahari dan siraman air hujan serta kondisi-kondisi lain yang menjadi causa non konstruktif bagi kelangsungan layak hidup manusia.
Melangkah spekulatif agar mampu mengubah secara demi sedikit dari tingkat kualitas hidup yang memiliki menuju kualitas lain yang lebih mungkin hidup dan menghidupkan. Ciri-ciri dari gelandangan  yaitu :
1)      Tidak memiliki tempat tinggal.
Kebanyakan dari gelandangan ini tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal. Mereka biasa mengembara di tempat umum. Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di sepanjang sungai,emper toko dan lain-lain
2)      Hidup di bawah garis kemiskinan.
Para gepeng tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa menjamin untuk kehidupan mereka ke depan bahkan untuk sehari-hari mereka harus mengemis atau memulung untuk membeli makanan untuk kehidupannya.
3)             Hidup dengan penuh ketidakpastian.
Para gepeng hidup mengelandang dan mengemis di setiap harinya.Kondisi ini sangat memprihatikan karena jika mereka sakit mereka tidak bisa mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai negeri yaitu ASKES untuk berobat dan lain lain.
4)             Memakai baju yang compang camping.
Gepeng biasanya tidak pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan baju yang kumal dan dekil.
5)             Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari puntung rokok, penarik grobak.
6)             Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami,kumpulkebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya.

Namun secara spesifik, Karakteristik gelandangan dapat dibagi menjadi :

1.   Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun,tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.
2.   Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya.
3.   Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.
Menurut Soetjipto Wirosardjono mengatakan ciri-ciri dasar yang melekat pada  kelompok masyarakat yang dikategorikan gelandangan adalah :  ”Mempunyai lingkungan pergaulan, norma dan aturan tersendiri yang berbeda dengan  lapisan masyarakat yang lainnya, tidak  memliki tempat tinggal, pekerjaan dan pendapatan yang layak dan wajar menurut yang berlaku memiliki sub kultur khas yang mengikat masyarakat tersebut.

Status kehidupan gelandangan yang non konstruksi bukan dirasakan pemerintah DKI Jaya, Implisit masyarakat metropolitan Jakarta semata. Dalam perkembangan lebih lanjut masalah gelandangan mulai membebabi kota-kota besar lainnya di Indonesia, misalnya Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung dan Medan, bahkan dapat terjadi di kota-kota propinsi lain akan menyusul dengan kualitas dan kuantitas yang tidak berbeda.

B.     Sebab-sebab terjadinya masalah gelandangan
Dalam perspektif causa Aristoteles banyak factor yang mendukung, mendorong, bahkan sebagau emberio yang menuju arah terwujudnya gelandangan tersebut. Dalam perspektif lain Artidjo Alkostar membentangkan sangat rinci factor-faktor penyebab gelandangan yang pada garis besarnya, sebagai berikut : dari hasil observasi terhadap gelandangan, factor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dapat dibedakan ke dalam factor interen dan eksteren. Factor intern meliputi : sifat malas, tidak mampu bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik, dan adanya cacat psikis(jiwa). Sedangkan faktor-faktor interen terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, psikologi, kultural, lingkungan dan agama.
(1)   Faktor ekonomi. Kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat rendahnya pendapatan per kapita dan tidak tercukupinya kebutuhan hidup.
(2)   Faktor geografi. Daerah asal yang minus dan tandus, sehingga tidak memungkinkan pengolahan tanahnya.
(3)   Faktor sosial. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.
(4)   Faktor pendidikan. Relative rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal dan keterampilan hidup yang layak, dan kurangnya pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat.
(5)   Faktor psikologis. Adanya perpecahan/keretakan dalam keluarga, dan keinginan melupakan pengalaman/kejadian masa lampau yang menyedihkan, serta kurangnya gairah kerja.
(6)   Faktor kultural. Pasrah kepada nasib, dan adat istiadat yang merupakan rintangan dan hambatan mental
(7)   Faktor lingkungan. Pada gelandangan yang telah berkeluarga  atau mempunyai anak , secara tidak langsung sudah Nampak adanya pembibitan gelandangan.
(8)   Faktor agama. Kurangnya dasar-dasar ajaran agama, sehingga menyebabkan tipisnya iman, membuat mereka tidak tahan menghadapi cobaan dan tidak mau berusaha.


C.        Dampak terjadinya masalah gelandangan
Selain permasalah diatas ada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan gelandanagan, antara lain :
1.      Masalah Lingkungan
Gelandangan pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tinggal di wilayah yang sebenarnya dilarang dijadikan tempat tinggal, seperti : taman-taman, kolong jembatan dan pinggiran kali. Oleh karena itu kehadiran mereka di kota-kota besar sangat mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat, kebersihan dan keindahan kota.

2.      Masalah Kependudukan
Gelandangan yang hidupnya berkeliaran di jalan-jalan dan tempat-tempat umum kebanyakan tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang tercatat di Kelurahan (RT/RW) setempat dan sebagian besar mereka hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan pernikahan yang sah.
3.      Masalah Keamanan dan Ketertiban
Maraknya gelandangan di suatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial, serta mengurangi keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut.

D.    Identifikasi pelayanan pekerja sosial  yang berhubungan dengan masalah
Pelayanan dan Rehabilitas
1)      Proses pelayanan dan rehabilitas sosial Gelandangan  meliputi :
a.       Pendekatan Awal dan Penerimaan Klien
a)      Kegiatan .
·         Orientasi dan konsultasi kepada Lembaga terkait dan Lintas Sektor untuk memperoleh dukungan dan calon klien
·         Identifikasi calon klien
·         Motivasi calon
·         Seleksi calon klien
·         Kesepakatan pelayanan dengan klien (Kontrak Pelayanan )
b)      Kualifikasi Petugas
·         Pekerja Sosial (Pemerintah maupun Swasta )
·         Relawan Sosial yang terlatih
c)      Frekwensi dan Jangka Waktu
Lamanya 1 2minggu
d)     Administrasi dan materi pendukung
·         Formulir pendekatan awal
·         Buku Registrasi
·         Formulir Identifikasi
·         Formulir Perjanjian (Kontrak Pelayanan )
·         Laporan kunjungan


2)      Pengungkapan dan pemahaman masalah (assessment)
a)      Kegiatan.
·         Menggali masalah dan potensi klien
·         Menyusun rencana pelayanan
·         Menggali sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk menolong klien
b)      Kualifikasi petugas
·         pekerja sosial
·         relawan sosial dibawah supervise pekerja sosial

c)       Frekuensi dan jangka waktu
·         2x melaksanakan assessment terhadap klien
·         2x melakukan assessment terhadap lingkungan klien
·         1-2 minggu
d)     Admininstrasi dan materi pendukung
·         Instrument Studi Kasus
·         Laporan Studi Kasus
·         Pembahasan kasus (Case Conference)
3) Bimbingan sosial, fisik, mental, dan keterampilan
a) kegiatan
·         Bimbingan sosial (individu, kelompok, komunitas)
·         Bimbingan fisik ( kesehatan, gizi, olahraga, dan kebersihan lingkungan)
·         Bimbingan mental (spiritual budi pekerti, kepribadian)
·         Bimbingan keterampilan kerja
·         Bimbingan pendidikan (formal dan non formal)
b)  kualifikasi
·         Pekerja sosial
·         Tenaga medis atau paramedic
·         Rohaniawan
·         Psikolog
·         Instruktur keterampilan
c) Frekuensi dan jangka waktu
·         Bimbingan perorangan 3x pertemuan perbulan
·         Bimbingan kelompok
e)       Adiministrasi dan materi pendukung
·         Laporan proses dan perkembangan
·         Silabus bimbingan
4)  Resosialisasi
a)  kegiatan
·         Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah
·         Magang ditempat kerja sesuai keterampilannya
·         Penyiapan tempat peyaluran kerja, transmigrasi
b) kualifikasi
·         Pekerja Sosial
·         Relawan sosial terlatih
c) frekuensi dan jangka waktu
·         1-3 bulan
d) Adminitrasi dan materi penunjang
·         Laporan proses persiapaan dan perkembangan
5)  penyaluran
a) kegiatan
·         Penyaluran lapangan kerja usaha
·         Mengikuti, program transmigrasi
·         Dikembalikan ke daerah asal klien
·         Berwiraswasta
b) kualifikasi petugas
·         Pekerja Sosial
·         Relawan sosial terlatih
c) frekuensi dan jangka waktu
·         Segera setelah proses resosialisasi selesai
d) administrasi
·         Formulir penyaluran
·         Laporan penyaluran

6) bimbingan lanjut
a) kegiatan
·         Memantau perkembangan bekas warga binaan sosial
·         Supervise
b) kualifikasi petugas
·         Pekerja sosial
·         Pekerja sosial terlatih
·         Aparat terkait (rt, rw, lurah, binmas)
c. frekuensi dan jangka waktu
·         Frekuensi kontak, sekali dalam 2 bulan
·         Jangka waktu 6 bulan
d. Adminisrasi dan materi penutup
·         Formulasi bimbingan lanjut
·         Laporan bimbingan lanjut
7. evaluasi
a) kegiatan
·         Evaluasi setiap tahapan proses
·         Evaluasi akhir
                        b) Kualifikasi petugas
·         Pekerja Sosial
·         Relawan sosial dengan supervise pekerja sosial
c) Frekuensi dan jangka waktu
·         4 (empat) kali
·         4 (empat) kali
8.Pengakhiran (Terminasi)
a) kegiatan
·         Pengakhiran kegiatan pelayanan
b) Kualifikasi petugas
·         Pekerja Sosial
·         Relawan sosial terlatih
c) Frekuensi dan jangka waktu
·         1 (satu) kali
·         1 (satu) hari
d) Administrasi dan materi pendukung
Surat pemberitahuan pengakhiran kepada klien dan tembusan kepada pihak-pihak terkait


D. Sarana dan Prasarana Pelayanan
1.      Panti
a)      Gedung Kantor
1)   Ruang pimpinan
2)   Ruang administrasi
3)   Ruang konsultasi
4)   Ruang tamu
5)   Ruan pertemuan
b)      Pondok atau Asrama minimal memiliki
1)   Ruang tidur
2)   Ruang makan
3)   Kamar mandi/wc
4)   Ruang tamu
c)      Sarana penunjang
1)   Lapangan atau halaman unutk pembinaan fisik
2)   Ruang bimbingan mental sosial
3)   Ruang pelatihan keterampilan sosial
2.      Non panti
a)      Gedung secretariat
1)      Ruang pimpinan
2)      Ruang tata usaha
3)      Ruang konsultasi
Sarana dan prasarana penunjang bersifat koordinatif dengan mendayagunakan sumber-sumber yang ada.

E.     Identifikasi potensi dan sistem sumber yang dapat digunakan untuk mangatasi masalah
Berdasarkan masalah ini, banyak  sekali jenis potensi  dan sumber kesejahteraan sosial yang dapat digunakan untuk mengatasinya. Tentunya dapat dianut dari sistem sumber yang telah ditemukan oleh para ahli. Adapun sistem sumber tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut Pincus dan Minahan (1973) mengklasifikasikan sumber sebagai berikut :
1. Sistem sumber informal atau alamiah (informal or natural resources system)
Sistem sumber informal atau alamiah merupakan segala bentuk dukungan, bantuan dan pelayanan yang dapat digali dan dimanfaatkan dari lingkungan terdekat seperti: keluarga, teman, kerabat ataupun tetangga. Bentuk-bentuknya dapat berupa dukungan emosional, kasih sayang, perhatian, nasehat, informasi, serta bantuan-bantuan konkrit seperti bantuan makan, pakaian ataupun uang. Sistem sumber ini dapat pula dijadikan jalan bagi pemanfaatan sistem sumber lainnya. Sistem sumber ini dapat digunakan apabila gelandang tersebut masih memiliki kerabat sehingga gelandangan tersebut tidak hidup sebatang kara.

2. Sistem sumber formal (formal resources system)
Sistem sumber formal merupakan sistem sumber yang dapat memberikan bantuan, dukungan, ataupun pelayanan bagi  para anggotanya melalui suatu wadah organisasi yang sifatnya formal, seperti: serikat buruh, perhimpunan orang tua anak-anak yang kecerdasannya dibawah normal, persatuan orang tua murid, maupun organisasi –organisasi profesional. Keberadaan sistem –sistem sumber ini dapat pula digunakan dan dimanfaatkan sebagai jalan bagi akses terhadap sumber-sumber lainnya. Tentunya, dengan adanya sumber ini, akan mempermudah dalam penangan gelandangan, karena sistem sumber formal akan lebih efektif untuk mengatasi masalah gelandangan.

3. Sistem Sumber Kemasyarakatan (sosial recources System )
Sistem sumber kemasyarakatan adalah lembaga-lembaga yang didirikan oleh pemerintah ataupun swasta yang memberikan pelayanan kepada semua orang, misalnya sekolah, rumah sakit, lembaga bantuan hukum serta badan-badan sosial bagi perawatan anak, adopsi anak, lembaga pelatihan dan penempatan tenaga kerja, perpustakaan, tempat-tempat rekreasi dan fasilitas sosial lainnya, orang-orang umumnya terkait dengan salah satu atau bahkan beberapa dari sistem sumber kemasyarakatan. Dengan adanya sistem sumber ini, penanganan gelandangan yang menjadi masalah sosial diperkotaan akan lebih efektif pula, sebab gelandangan akan dikelola secara efektif agar dapat berfungsi sosialnya.

Sedangkan menurut Max Siporin (1975) dalam Sukoco DH (1998), klasifikasi sistem sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah gelandangan  adalah sebagai berikut :

1. Sumber internal
Sumber internal pada gelandangan  misalnya kecerdasan, imajinasi, kreatifitas, sensitivitas, motivasi, keberanian, karakter moral, kekuatan fisik, stamina, ketampanan/ kecantikan, keyakinan agama, pengetahuan dan kemampuan khusus lainnya, dapat dikelola untuk meningkatkan standar kehidupan mereka.

2. Sumber Formal dan Ofisial dan Sumber Informal dan non Ofisial.
Sumber formal dan ofisial adalah organisasi –organisasi yang mewakili kepentingan masyarakat seperti pekerja sosial profesional, lembaga-lembaga konseling, dan lembaga-lembaga lain yang memberikan pelayanan sosial. Sedangkan sumber-sumber yang informal dan non ofisial seperti dukungan sosial dan kerabat, tetangga yang memberikan bantuan makanan, pakaian, tempat tinggal, uang atau dukungan moral yang diberikan selama sakit, bencana atau kematian. Sumber-sumber non ofisial ini merupakan bagian dari sistem sumber pertolongan alamiah.  Sumber ini sangat mendukung untuk mengurangi jumlah gelandangan yang beredar karena gelandangan mendapatkah pengaruh nilai-nilai positif untuk merubah kehidupan mereka.

F. Merencanakan pemecahan masalah melalui pendekatan – pendekatan pemecahan masalah gelandangan.

Pada pendekatan sistem masalah sosial, aspek kehidupan yang berkaitan dengan gelandangan ditetapkan sebagai subsistem masalah sosial. Untuk mengkaji dan menganalisa subsistem-subsistem gelandangan secara mendalam, kita harus menggunakan disiplin ilmu sosial yang juga lebih daripda satu. Dengan demikian, pada pendekatan sistem ini untuk memecahkan masalah gelandangan yang telah mengakar kita gunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai dengan jumlah masalah gelandangan yang akan kita analisan dan yang akan kita kaji. Penerapan ilmu disiplin akademis ilmu sosial pada pendekatan sistem inilah yang disebut pendekatan interdisipliner. Pemikiran tentang gelandangan didekati , dianalisa, dan dikaji dari berbagai  disiplin ilmun sosial secara serentak dalam waktu yang sama yaitu mengandung anasir multi-disiplin-ilmu yang satu sama lain saling terkait dan menopang baik sosiologi, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, etika, estetika, dan bahkan planologi. Fenomena yang verivikatif dan tingkat validitasnya memadai, individu-individu yang bergelandangan meliputi semua jenis kelamin dan merata dalam tingkat usia. Implikasi dan kehidupan gelandangan yang strukturalistik kerap kali ditemukan beberapa remaja bahkan anak di bawah umur, balita, dewasa maupun lansia berada dalam semesta kehidupan yang menunggu perbaikan secara total dalam integraliktasnya.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini secara sederhana akan di ketengahkan pelaksanaan pendekatan interdisipliner, untuk hal ini, kita akan kembali kepada masalah gelandangan yang kita tetapkan sebagai suatu sistem masalah sosial. Pendekatan interdisipliner masalah gelandangan itu sebagai berikut :
Mengungkapkan subtensi historis dengan pendekatan historis:
(1)   Sejak kapankah gejala gelandangan terjadi di daerah tersebut?
(2)   Telah menjadi warisan sejak jaman dulukah gejala gelandangan tersebut?
(3)   Apakah penduduk yang miskin di daerah itu merupakan penduduk asli setempat ataukah merupakan penduduk pendatang?
(4)   Bagaimanakh usaha yang dilakukan sejak jaman dulu untuk mengatasi masalah gelandangan tersebut?
(5)   Factor-faktor historis apakah yang menjadi pendorong terjadinya masalah gelandangan tersebut?
(6)   Dan seterusnya.
Mengungkapkan subtensi ekonomi dengan pendekatan ekonomi:
(1)   Bagaimanakah keadaan sumber daya setempat yang mendukung kehidupan penduduknya ?
(2)   Bagaimanakah keadaan lapangan kerja setempat yang menjamin kehidupan penduduknya?
(3)   Bagaimanakah perbandingan antara jumlah orang kaya dengan orang miskin di daerah tersebut?
(4)   Bagaimanakah pendataan perkapita penduduk setempat?
Mengungkapkan subtensi sosial dengan pendekatan sosiologis:
(1)   Bagaimanakah hubungan sosial antar penduduk setempat pada umumnya?
(2)   Bagaimanakah peranan pemuka masyarakat setempat dalam menanggapi dan menghadapi masalah gelandangan setempat?
(3)   Sampai sejauh manakah usaha yang dilakukan  pemuka masyarakat dan penduduk yang kaya mengatasi masalah gelandangan?
(4)   Adakah norma-norma sosial setempat yang mengatur pembagian dan pemerataan pendapatan setempat?
(5)   Bagaimanakah sistem nilai sosial yang berlaku pada daerah setempat?
Mengungkapkan subtensi politik dengan pendekatan politik:
(1)   Adakah peraturan khusus setempat dan peraturan pemerintah yang melindungi penduduk dari gelandengan?
(2)   Adakah pengaruh kestabilan pemerintah terhadap masalah gelandangan setempat?
(3)   Sampai sejauh manakah perhatian pemerintah setempat terhadap masalah gelandangan dengan gejalan untuk mengatasinya?
(4)   Bagaimanakah tindakan pemerintah dan pemimpin pemerintah mengatasi masalah gelandangan?
Mengungkapkan subtensi psikologi dengan pendekatan psikologi  :
(1)   Bagaimanakah sikap mental penduduk setempat terhadap gelandangan?
(2)   Bagaimanakah rasanya harga diri penduduk setempat terhadap kemiskinan yang dialami?
(3)   Bagaimana kemauan penduduk setempat terhadap usaha mengatasi masalah gelandangan yang menimpa dirinya?
(4)   Tindakan penduduk dan pemuka masyarakat setempat merasakan sebagai suatu tekanan jiwa gelandangan yang menimpa dirinya?
Demikianlah antara lain proses pendekatan interdisipliner dan pendekatan sistem dalam mengungkapkan permasalahan kehidupan di masyarakat  salah satunya yaitu masalah gelandangan.
Perencanaan Metode Pemecahan Masalah gelandangan
Sesuai dengan data masukan hasil pendekatan  masalah, kita harus mengadakan perencanaan metode pemecahan masalahnya. Perencanaan ini terutama bertujuan mendapatkan pemecahan masalah yang secara rasional dapat menghemat daya, dana, dan waktu dan juga untuk menghindari terjadinya masalah baru yang lebih sukar untuk ditangani. Hal ini disarkan atas kenyataan bahwa tidak jarang terjadi masalah baru yang lebih gawat sebagai akibat penerapan pemecahan masalah yang tergesa-gesa tidak melalui perencanaan yang matang.
Perencanaan-perencanaan masalah meliputi variable-variabel apa yang tejadi menjadi factor masalah, bagaimana intesitasnya dan bagaimana pemecahan masalh itu harus dilaksanakan. Dari variable sosial dengan derajat intensitasnya, kita akan dapat merumuskan dan menentukan skala prioritas pemecahan mana yang harus di utamakan/didahulukan, mana yang kemudiann dan mana yang 

 III.            PENUTUP
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan mereka, berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dari sekian faktor yang ada, ada 5 faktor yang menjadi penyebab adanya gelandangan di Aksara yaitu Urbanisasi, Keterampilan, Pendidikan, Kelemahan Fisik dan Lingkungan. Hal itu menjadi dasar yang membuat orang-orang tersebut terpaksa menjadi Gelandangan. Dampak yang ditimbulkan oleh mereka sangat meresahkan masyarakat, mulai dari masalah lingkungan, kependudukan, keamanan dan ketertiban serta kriminalitas.

Kita dapat mengenali gelandangan dengan ciri ciri tindak memiliki tempat tinggal, hidup di bawah garus kemiskinan, hidup dengan ketidakpastian, memakai baju compang camping, tidak memiliki pekerjaan, tidak mempunyai identitas diri dan tuna etika. Gelandangan juga biasanya biasanya usia dewasa laki-laki ataupun perempuan sampai lansia terkadang juga ada anak kecil yang ikut dengan orang tuanya.
Identifikasi pelayanan pekerja sosial  yang berhubungan dengan masalah dapat dengan memberikan Pelayanan dan Rehabilitas kepada para gelandangan berupa pendekatan awal, assessment, Resosialisasi dan bimbingan.
Banyak  sekali jenis potensi  dan sumber kesejahteraan sosial yang dapat digunakan untuk mengatasinya yaitu di antaranya Sistem sumber informal atau alamiah, sistem sumberformal, Sistem Sumber Kemasyarakatan dan sistem sumber internal. Adapula pendekatan yang dapat kita lakukan dalam menangani masalah sosial gelandangan yang ditetapkan sebagai subsistem masalah sosial. Untuk mengkaji dan menganalisa subsistem-subsistem gelandangan secara mendalam, kita harus menggunakan disiplin ilmu sosial yang juga lebih daripda satu.
Selain kita sebagai calon pekerja sosial berusaha mengatasi dan mengurangi masalah gelandangan agar Indonesia dapat mengalami perubahan sejahterah secara perlahan namun pasti dan juga pemerintah di tuntut agar memperhatikan gelandangan dengan memberikan bimbingan bukan dengan penangkapan secara keras, sebagaimana karena bagaimana pun juga mereka adalah warga bangsa yang mempunyai hak untuk mendapatkan hidup layak serta pendidikan dan perhatian, karena kami yakin jika mereka di berikan kesempatan untuk mendapat pendidikan dan perekonomian yang baik tentunya kelak mereka dapat mengaharumkan nama Negara dan bangsa dan juga dapat mengurangi permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini.
Kami juga menghimbau kepada keluarga agar dapat memberikan pola asuh yang baik,sehingga tidak mendorong anak-anak penerus bangsa terjerumus didalam kehidupan sosial yang menyimpang. Upaya penanggulangan akan lebih baik lagi jika pemerintah menyediakan panti sosial  yang mempunyai program dalam bidang pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan keterampilan (workshop) bagi gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan tidak kembali menggelandang dan mengemis.

 IV.            DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2004. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. Jakarta. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI.

Sudarsonoh. 2012. “Kenakalan Remaja : Prevensi, rehabilitasi, Resosialisasi”. Cet 6. Jakarta. Rineka Cipta.
“Makalah Gepeng”. 13 April 2016.http://www.academia.edu/6492300/MAKALAH_GEPENG

Agus Zebua, Citra. “ Makalah mengenai gelandangan”. 13 April 2016.  http://citraaguszebua.blogspot.co.id/2014/12/makalah-mengenai-gelandangan-dan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar